Sabtu, 28 Februari 2009

WTS adalah Korban!

Apa yang kita bayangkan kalau seorang pendeta yang selama ini kita kenal baik, takut akan Tuhan, seorang pelayan yang baik, taat dan beriman keluar dari lokalisasi. Atau, sebut saja kita memergokinya masuk dari kawasan lokalisasi berduaan dengan seorang WTS. Apa penilaian kita terhadap keadaan tersebut?

Kemungkinan paling besar, kita punya dua sampai tiga jawaban umum yang dapat dipilih:
1. Kita akan memandangnya sebagai hal yang negatif.
Kita tentu akan menilai tindakan pendeta tersebut sebagai hal yang negatif kalau saja memang pendeta itu betul-betul ‘berhubungan’ dengan WTS. Kita akan menolaknya mentah-mentah, dan akan menjatuhkan ‘sanksi’ dari diri sendiri kepadanya.
2. Kita memandangnya secara positif.
Tentu saja, kita pasti akan menerima perbuatan tersebut sebagai tindakan yang terpuji jika pendeta itu sebenarnya hanya melakukan tindakan pastoral. Kita akan menerima dengan baik jika memang sang pendeta hanya ingin menjalankan tugas kependetaannya.
3. Tidak tahu bagaimana menyikapinya secara tepat.
Pilihan ini adalah alternatif terakhir. Kita mungkin masih ragu-ragu dalam menyikapi tindakan pendeta tersebut. Termasuk di dalam pilihan ini adalah, menilai tindakan pendeta tersebut secara negatif meskipun itu merupakan upaya pastoral. Ini disebabkan karena pandangan bahwa seorang pendeta yang dihormati umat seharusnya tidak layak berdekatan dengan WTS. Untuk orang-orang yang memilih opsi nomor tiga dan nomor satu lah tulisan ini ditujukan.

Pandangan Negatif terhadap WTS
Saya pernah mendengar mitos bahwa pekerjaan sebagai WTS adalah pekerjaan tertua di dunia. Mungkin saja ini merupakan warisan dari naluri kebinatangan manusia itu sendiri (jika kita mengikuti teori Evolusi Darwin). Namun terlepas dari sebab-sebab lain yang mungkin, rata-rata kita semua setuju bahwa pekerjaan sebagai pelacur (maaf kalau saya harus menggunakan kata ini) adalah pekerjaan hina. Kita memandangnya sebagai hal yang negatif.
Dari Alkitab kita juga menemukan sikap yang serupa. Di sana dicatat bahwa orang-orang seperti ini mendapat rating buruk di tengah masyarakat. Mereka diasingkan dan dikucilkan dari kehidupan sehari-hari, terutama oleh jemaat. Dapat dikatakan bahwa perlakuan seperti ini mendapat legitimasi dari hukum Ibrani saat itu. Bahkan, ketahuan berbuat mesum dengan pasangan yang bukan suami/istrinya, pelaku akan segera dibawa ke ruang sidang dan dihukum (dirajam) sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat itu.
Mengapa pekerjaan WTS kita lihat sebagai pekerjaan yang hina? Saya bukan ingin menggugat pandangan kita ini, namun agar kita tahu dengan pasti mengapa kita memilih untuk menilainya sebagai hal tabu. Secara umum ada dua sebab mengapa mereka dipandang hina:
1. Pelanggaran terhadap norma masyarakat
Pertama-tama, kita memandangnya hina karena memang masyarakat kita tidak menerima keberadaan mereka. Di dalam masyarakat sudah tercipta suatu sistem (norma/budaya/hukum) yang menolak para WTS. Masyarakat akan lebih baik kalau WTS tidak ada. Sebabnya yag paling mungkin, karena masyarakat terdiri dari beberapa keluarga, maka jikalau sebuah keluarga menjadi hancur karena si suami ketahuan berhubungan dengan WTS (perhatikan kecenderungan kaum pria untuk memakai jasa WTS), maka keberadaan WTS tersebut tidak boleh ditolerir.
Tetapi bagaimana kalau masyarakat menerima keberadaan mereka? Di Indonesia, keberadaan mereka hanya ‘diterima’ oleh masyarakat di lingkungan lokalisasi. Di lokalisasi itulah tempat pengucilan mereka dan sekaligus tempat di mana mereka merasa aman. Lagi pula, kalaupun ada negara (masyarakat) lain yang menerima mereka dengan terang-terangan, bukankah kita hanya geleng-geleng kepala?
2. Bertentangan dengan ajaran agama
Alasan kedua mengapa kita memandangnya hina adalah karena memang sistem agama kita pun telah menolak keberadaan mereka. Misalnya saja dalam Dasa Titah, bukankah di sana ditetapkan bahwa seseorang tidak boleh berselingkuh (bhs Batak: Unang Ho mangalangkup). Atau jika kita perhadapkan dengan konteks tubuh sebagai bait Allah, bukankah kita dilarang untuk hanya memenuhi keinginan daging. Bukankah secara tidak langsung itu dapat berarti “jangan kau memenuhi keinginan dagingmu untuk berselingkuh/berhubungan dengan WTS”? Kiranya kita tidak dapat memungkiri bahwa sistem agama melegitimasi penilaian negatif kita terhadap WTS dan orang-orang yang berhubungan dengannya.
Kedua alasan ini sebenarnya berdiri pada satu pondasi. Seorang WTS dipandang buruk sehingga tidak layak hidup dalam masyarakat, karena ia berada dalam sebuah sistem yang memang melarangnya. WTS adalah anak bawang dari masyarakat yang membuat aturan agar mereka dikucilkan dari masyarakat.

Bagaimana Menyikapi Keberadaan WTS?
Mengingat penilaian umum ini, marilah kita ke arah lain. Mari kita alihkan perhatian kepada Yesus Kristus. Sama seperti sikapNya terhadap pendosa lain, kelihatannya Yesus juga tidak terlalu mempersoalkan pandangan umum yang negatif tentang keberadaan WTS. Alih-alih ikut mengucilkan dan menolak mereka, Ia malah lebih memilih hidup di tengah-tengah para WTS dan orang-orang yang dikucilkan dari masyarakat. Ia berkhotbah, berbicara, bertukar pikiran, dan mengajar mereka semua tanpa satu orangpun yang kelewatan.
Namun, kalau kita mengingat pernyataan Yesus yang mengatakan bahwa Ia tidak datang untuk orang-orang yang sehat (tidak berdosa) melainkan orang-orang sakit (berdosa), kelihatannya Yesus juga memandang para WTS tersebut sebagai orang yang berdosa. Saya tidak dapat menutupi fakta bahwa Yesus sepertinya sependapat dengan pandangan masyarakat. Sama seperti masyarakat waktu itu, Yesus juga berpandangan negatif terhadap dosa-dosa yang dilakukan oleh para WTS. Atau, katakanlah, Yesus juga mendukung sistem yang demikian.
Bagi saya sendiri ini adalah masalah. Kenapa Yesus secara tidak langsung kelihatannya ikut menyetujui sistem yang berlaku? Inilah pergumulan saya pribadi dalam menilai fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Secara pribadi saya menolak sistem yang membuat seseorang dikucilkan. Menjawab hal ini ada dua jawaban yang mungkin:
Jawaban pertama adalah bahwa Yesus dan masyarakat memang sama-sama menolak dosa yang dilakukan oleh WTS. Tapi sebenarnya Ia tidak sungguh sama dengan masyarakatNya. Ini terbukti dari langkah Yesus yang sama sekali berbeda dalam menyikapi keberadaan mereka. Yesus tidak ikut mengucilkan mereka.
Saya tidak puas terhadap jawaban ini, karena ada masalah yang dimunculkannya. Bagaimana mungkin Yesus ikut-ikutan menilai WTS sebagai pendosa (yang perlu diselamatkan) dan sementara itu berarti Ia mendukung sistem masyarakat yang negatif? Dalam hal ini saya melihat adanya inkonsistensi dalam diri Yesus. Jika Ia benar-benar datang untuk menyelamatkan seluruh umat, mengapa Ia juga mengamini sistem masyarakat yang mengucilkan WTS?
Jawaban kedua ini tampaknya akan lebih memuaskan dari pada jawaban pertama. Yesus sebenarnya tidak sama dengan masyarakatNya waktu itu. Ia tidak mungkin bersikap demikian. Ketika mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk menyelamatkan orang berdosa, bukan berarti Ia mengatakan bahwa lawan bicarannya waktu itu tidak berdosa. Ia tidak bermaksud mengatakan: “Aku datang untuk orang-orang berdosa ini (mis. WTS), bukan kepada kalian (tidak berdosa)”. Ia justru ingin menyelamatkan keduanya sekaligus. Dengan kata lain, Yesus memegang konsep dosa yang sama sekali berbeda dengan masyarakat. BagiNya, baik masyarakat (baca: sistem) maupun WTS adalah orang-orang berdosa. Ia dapat melihat dosa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap para pendosa sambil melihat dosa yang dilakukan oleh WTS. Jadi sebenarnya bukan karena semata-mata Ia mampu bersifat obyektif, tetapi juga karena memang konsep dosa yang dipakainya tidak serupa dengan masyarakat waktu itu.
Jikapun dalam prakteknya Ia kelihatan lebih berpihak pada orang-orang lemah tak berdaya, namun bukan berarti Ia juga mengabaikan orang lain. Yesus Kristus juga datang kepada orang-orang kaya. Ia juga ingin menyelamatkan semuanya tanpa kelewatan satu orang pun. Hanya saja memang ada kecenderungan bahwa manusia tidak dapat melihat dosanya sehingga merasa tidak perlu diselamatkan. Orang yang merasa kuat sering pula merasa tidak membutuhkan bantuan apapun. Dan demikian juga, sistem yang selama ini berlaku sering kali merasa sebagai satu-satunya sistem yang benar.

Penutup
Semua uraian di atas bertujuan agar kita memperhatikan dengan cermat sistem masyarakat kita yang sering menjadi jalan pembenaran tindakan/sikap yang salah. Para WTS sebenarnya tidak perlu dikucilkan atau diabaikan dari masyarakat. Sikap-sikap seperti ini sering justru membuat kita melupakan siapa kita sebagai seorang Kristen. Menjadi seorang Kristen tidak memungkinkan kita menjalankan sistem yang buruk. Hal itu akan membuat mereka semakin tidak tertolong lagi. Kita justru harus rela hidup bersama mereka. Hidup bersama bukan berarti membenarkan perbuatan mereka, ini berarti kita tidak menghakimi mereka secara sepihak. Sama seperti kita dilayani oleh pendeta/pelayan gereja, maka mereka juga layak mendapat pelayanan yang sama. Sama seperti biasanya kita beribadah dan berkumpul bersama dalam jemaat, mereka juga memiliki hak yang sama pula.
Dalam hal ini, jika memang ada pendeta yang ingin melakukan pelayanan terhadap seorang WTS, lebih baik kiranya agar para pelayan dan jemaat diikut sertakan. Ini berguna sebagai jalan untuk mengajari jemaat tentang cara hidup saling melayani di antara jemaat. Ini pun akan membuat mereka menerima kehadiran WTS dilingkungann mereka secara lapang dada. Bukan hidup berdampingan sebagai musuh, melainkan hidup bersama dalam setiap keadaan. Amin.

Jumat, 27 Februari 2009

Kritik Diri Sendiri

Pada awalnya saya memandang bahwa fanatisme sebagai suatu kata yang berkonotasi negatif. Akan tetapi setelah saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai acuan baku dalam dunia bahasa Indonesia, ternyata yang saya temukan justru maknanya masih bersifat netral.

Beranjak dari pengalaman diatas, saya mencoba merunut lagi pemikiran saya ke belakang…

fa.na.tik a teramat kuat kepercayaannya (keyakinannya) thd ajaran) politik, agama, dsb): tokoh
partai itu berada di tengah-tengah pengikutnya yg –;
ke.fa.na.tik.an n perihal fanatik

fa.na.tis.me n keyakinan (kepercayaan) yg terlalu kuat thd ajaran (politik, agama, dsb).

Beranjak dari pengalaman diatas, saya mencoba merunut lagi pemikiran saya ke belakang. Timbul pertanyaa, lalu mengapa selama ini saya memandang fanatisme itu sebagai hal yang negatif? Menjawab pertanyaan ini, saya teringat akan teori asosiasi bebas. Dari teori ini mungkin dapat kita ambil sedikit contekan. Ternyata ketika kata fanatisme muncul dihadapan saya, ada sebuah momen asosiasi yang justru mempengaruhi sikap dan penilaian saya terhadap kata itu sehingga secara otomatis pengertian yang sebenarnya akan kata itu justru berubah sama sekali.

Untuk lebih jelasnya lagi mungkin dapat diterangkan seperti di bawah ini.

Ketika saya melihat kata/ istilah ‘fanatik’ dan atau ‘fanatisme’, secara otomatis dari dalam bawah sadar saya muncul sebuah penghubungan (asosiasi) pengertian, kata, objek, image yang membentuk pola pikir, sehingga sedemikian rupa terciptalah gambaran, nilai atau kesan terhadap kata tersebut. Objek-objek asosiasi yang muncul misalnya, orang yang fanatik adalah: orang yang tidak bisa menerima pendapat orang lain, orang yang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, aksi teror, aksi bom bunuh diri, dan sebagainya. Setelah semua objek asosiasi dianalisa, ternyata semuanya berkonotasi negatif. Dari titik ini saya mencoba mengambil sedikit asumsi bahwa semakin negatif asosiasi yang ditimbulkan oleh alam bawah sadar terhadap alam sadar (baca: pikiran awas), maka semakin negatif jugalah penilaian saya terhadap sebuah kata.

Nah hal itu justru menimbulkan sebuah pertanyaan lagi bagi saya. Kenapa justru alam bawah sadar kita memberikan report yang buruk terhadap alam sadar saya? Mengapa ia memberikan kesan negatif pada pikiran sadar saya? Dari pertanyaan ini, muncul lagi pertanyaan, apa yang mempengaruhi alam bawah sadar saya? Rupa-rupanya itu bergantung pada pengalaman kita. Jika seandainya kita berjumpa dengan pengalaman-pengalaman negatif dalam keadaan sadar, maka otak kita akan menangkap kesan tersebut dan menyimpannya dalam gudang penyimpanan data bawah sadar kita.

Pengalaman-pengalaman itu adalah berita-berita yang justru sifatnya sangat relatif, bisa positif dan bisa negatif yang semuanya bergantung pada pengalaman-pengalaman sebelumnya yang telah mempengaruhi kesan seseorang terhadap pengalaman tersebut. Dalam hal ini mungkin saya sebelumnya telah juga memperoleh kesan negatif sehingga pemberitaan yang sifatnya netral saya kondisikan menjadi sangat negatif. Ibarat efek domino yang tak dapat terelakkan. Jadi dari hal ini saya sudah semakin memantapkan dugaan saya sebelumnya, bahwa semakin negatif kesan yang kita simpan dalam memori kita maka akan semakin negatif pulalah penilaian kita terhadap suatu objek.

Selesai dari kesimpulan tersebut, tiba-tiba saya merasa takut. Bagaimana jika hal yang sama berlaku pada objek-objek yang lain, dengan kata-kata yang lain, dengan orang-orang lain? Misalkan saja saya menemukan kata Hitler. Wah, yang saya pikirkan justru Nazi, pembunuh orang-orang tak berdosa, diktator, dan segala macam lainnya yang sifatnya negatif. Tetapi diatas segalanya itu yang paling buruk adalah, tidak ada asosiasi pengertian positif yang muncul sama sekali kedalam pikiran saya ketika menangkap objek kata Hitler tersebut. Apa yang mempengaruhinya? Karena ini selama ini saya hanya mendengar dari buku, majalah, atau media pemberi informasi lainnya yang menyatakan tentang hal-hal negatif tersebut. Dan mereka sama sekali tidak memberikan pemberitaan yang sama sekali positif atas kata tersebut. Dan tak dapat dielakkan, hal ini memberi efek yang buruk pada ingatan saya.

Padahal kalau ditelusuri lebih jauh lagi, ada informasi yang juga sebenarnya tidak kalah penting yang mampu mereduksi penilaian negatif saya terhadap Hitler. Berapa orang yang mengetahui bahwa ternyata Hitler adalah seorang ayah yang baik terhadap anak-anaknya dan seorang suami yang baik terhadap istrinya? Memang informasi ini tidak terlalu berpengaruh pada sejumlah penilaian-penilaian negatif yang telah dimunculkan. Akan tetapi hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi saya. Kenapa selama ini saya hanya mendengar pemberitaan yang negatif tentang Hitler? Kenapa mereka tidak memberitakan sisi positifnya walaupun sangat sedikit? Atau bahkan, apakah mereka juga mengalami kejadian yang sama dengan saya? Apakah mereka dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman mereka yang negatif terhadap Hitler? Atau yang paling buruk apakah mereka ingin mengarahkan logika berpikir masyarakat? Atau apakah mereka ingin memperoleh keuntungan dengan pemberitaan mereka? Itu adalah sebagian pertanyaan dari sekian banyak lainnya. Yang jelas dari apa yang saya mengerti tersebut, saya kemudian mengambil hikmah dari semuanya ini. Bahwa apa pun yang muncul dari benak saya yang sifatnya negatif, saya harus mencermatinya lebih dalam lagi. Saya harus tetap menggali kebenaran-kebenaran lain yang mungkin tertutupi oleh keadaan.

Dari kesimpulan tersebut saya kemudian mengambil sikap terhadap segala sesuatunya. Coba kita lihat contoh dibawah ini.

Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) adalah masalah yang sangat rentan membawa perpecahan. Dalam hal ini yang paling mutakhir adalah perbedaan Agama. Ketika saya menemukan sebuah objek kata, misalkan agama Hindu, Budha, atau agama-agama lainnya yang melaluinya dalam benak saya timbul suatu penilaian/kesan negatif, tentunya saya harus mencoba merunut kembali faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian saya tersebut. Ketika saya menangkap bahwa hal itu (misalkan) disebabkan oleh munculnya asosiasi yang menyatakan bahwa agama itu bertanggungjawab atas darah orang-orang tak berdosa di suatu tempat tertentu di muka bumi, maka saya tidak lagi boleh berpegang teguh pada pandangan tersebut. Karena apa? Karena sifatnya negatif.

Oleh karena itu terhadap diri kita sendiri kita harus bertanya. Apakah saya harus mengabaikan fakta bahwa mereka juga memiliki hal-hal yang baik? Dan jika saya telah menganalisa dan menemukan bahwa hal itu dipengaruhi oleh wacana yang dihadirkan oleh pihak lain, apakah kepentingan mereka, apa yang mempengaruhi mereka, dan layakkah saya sama negatifnya dengan mereka, apakah saya benar jika saya mengikuti sikap mereka itu, adilkah sikap saya terhadap mereka, dan jujurkah saya terhadap diri saya?

Jawaban atas segala pertanyaan tersebut akan sangat membantu kita mencermati persoalan dengan lebih baik. Ini semua sangat penting. Sebab semakin baik pengaruh yang masuk kedalam bidang pengertian kita, maka samakin jernih kita menyikapi setiap keadaan, sehingga oleh karenanya dapat terhindar dari bahaya yang dapat menghancurkan diri sendiri. Misalnya? Paranoid!

Mungkin ini adalah suatu peralihan dari pola berpikir naif menjadi pola berpikir modern. :p Pikir dahulu, sesal kemudian tiada guna.

Jumat, 13 Februari 2009

Pemahaman Kristoteosentris Karl Barth dalam Deklarasi Barmen Pasal I

Buku ini membahas pemahaman kristoteosentrisme Karl Barth dalam Deklarasi Barmen Pasal I. Apa kristoteosentrisme itu dan bagaimana Barth menerapkannya dalam Deklarasi Barmen? Anda akan menemukannya dalam e-book ini.

Penulis : Reinhard P.P. Lumbantobing
Judul Buku : Kristoteosentrisme Karl Barth dalam Deklarasi Barmen Pasal I
Email : rpplumbantobing@pargodungan.org

Download sekarang juga!