Jumat, 27 Februari 2009

Kritik Diri Sendiri

Pada awalnya saya memandang bahwa fanatisme sebagai suatu kata yang berkonotasi negatif. Akan tetapi setelah saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai acuan baku dalam dunia bahasa Indonesia, ternyata yang saya temukan justru maknanya masih bersifat netral.

Beranjak dari pengalaman diatas, saya mencoba merunut lagi pemikiran saya ke belakang…

fa.na.tik a teramat kuat kepercayaannya (keyakinannya) thd ajaran) politik, agama, dsb): tokoh
partai itu berada di tengah-tengah pengikutnya yg –;
ke.fa.na.tik.an n perihal fanatik

fa.na.tis.me n keyakinan (kepercayaan) yg terlalu kuat thd ajaran (politik, agama, dsb).

Beranjak dari pengalaman diatas, saya mencoba merunut lagi pemikiran saya ke belakang. Timbul pertanyaa, lalu mengapa selama ini saya memandang fanatisme itu sebagai hal yang negatif? Menjawab pertanyaan ini, saya teringat akan teori asosiasi bebas. Dari teori ini mungkin dapat kita ambil sedikit contekan. Ternyata ketika kata fanatisme muncul dihadapan saya, ada sebuah momen asosiasi yang justru mempengaruhi sikap dan penilaian saya terhadap kata itu sehingga secara otomatis pengertian yang sebenarnya akan kata itu justru berubah sama sekali.

Untuk lebih jelasnya lagi mungkin dapat diterangkan seperti di bawah ini.

Ketika saya melihat kata/ istilah ‘fanatik’ dan atau ‘fanatisme’, secara otomatis dari dalam bawah sadar saya muncul sebuah penghubungan (asosiasi) pengertian, kata, objek, image yang membentuk pola pikir, sehingga sedemikian rupa terciptalah gambaran, nilai atau kesan terhadap kata tersebut. Objek-objek asosiasi yang muncul misalnya, orang yang fanatik adalah: orang yang tidak bisa menerima pendapat orang lain, orang yang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, aksi teror, aksi bom bunuh diri, dan sebagainya. Setelah semua objek asosiasi dianalisa, ternyata semuanya berkonotasi negatif. Dari titik ini saya mencoba mengambil sedikit asumsi bahwa semakin negatif asosiasi yang ditimbulkan oleh alam bawah sadar terhadap alam sadar (baca: pikiran awas), maka semakin negatif jugalah penilaian saya terhadap sebuah kata.

Nah hal itu justru menimbulkan sebuah pertanyaan lagi bagi saya. Kenapa justru alam bawah sadar kita memberikan report yang buruk terhadap alam sadar saya? Mengapa ia memberikan kesan negatif pada pikiran sadar saya? Dari pertanyaan ini, muncul lagi pertanyaan, apa yang mempengaruhi alam bawah sadar saya? Rupa-rupanya itu bergantung pada pengalaman kita. Jika seandainya kita berjumpa dengan pengalaman-pengalaman negatif dalam keadaan sadar, maka otak kita akan menangkap kesan tersebut dan menyimpannya dalam gudang penyimpanan data bawah sadar kita.

Pengalaman-pengalaman itu adalah berita-berita yang justru sifatnya sangat relatif, bisa positif dan bisa negatif yang semuanya bergantung pada pengalaman-pengalaman sebelumnya yang telah mempengaruhi kesan seseorang terhadap pengalaman tersebut. Dalam hal ini mungkin saya sebelumnya telah juga memperoleh kesan negatif sehingga pemberitaan yang sifatnya netral saya kondisikan menjadi sangat negatif. Ibarat efek domino yang tak dapat terelakkan. Jadi dari hal ini saya sudah semakin memantapkan dugaan saya sebelumnya, bahwa semakin negatif kesan yang kita simpan dalam memori kita maka akan semakin negatif pulalah penilaian kita terhadap suatu objek.

Selesai dari kesimpulan tersebut, tiba-tiba saya merasa takut. Bagaimana jika hal yang sama berlaku pada objek-objek yang lain, dengan kata-kata yang lain, dengan orang-orang lain? Misalkan saja saya menemukan kata Hitler. Wah, yang saya pikirkan justru Nazi, pembunuh orang-orang tak berdosa, diktator, dan segala macam lainnya yang sifatnya negatif. Tetapi diatas segalanya itu yang paling buruk adalah, tidak ada asosiasi pengertian positif yang muncul sama sekali kedalam pikiran saya ketika menangkap objek kata Hitler tersebut. Apa yang mempengaruhinya? Karena ini selama ini saya hanya mendengar dari buku, majalah, atau media pemberi informasi lainnya yang menyatakan tentang hal-hal negatif tersebut. Dan mereka sama sekali tidak memberikan pemberitaan yang sama sekali positif atas kata tersebut. Dan tak dapat dielakkan, hal ini memberi efek yang buruk pada ingatan saya.

Padahal kalau ditelusuri lebih jauh lagi, ada informasi yang juga sebenarnya tidak kalah penting yang mampu mereduksi penilaian negatif saya terhadap Hitler. Berapa orang yang mengetahui bahwa ternyata Hitler adalah seorang ayah yang baik terhadap anak-anaknya dan seorang suami yang baik terhadap istrinya? Memang informasi ini tidak terlalu berpengaruh pada sejumlah penilaian-penilaian negatif yang telah dimunculkan. Akan tetapi hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi saya. Kenapa selama ini saya hanya mendengar pemberitaan yang negatif tentang Hitler? Kenapa mereka tidak memberitakan sisi positifnya walaupun sangat sedikit? Atau bahkan, apakah mereka juga mengalami kejadian yang sama dengan saya? Apakah mereka dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman mereka yang negatif terhadap Hitler? Atau yang paling buruk apakah mereka ingin mengarahkan logika berpikir masyarakat? Atau apakah mereka ingin memperoleh keuntungan dengan pemberitaan mereka? Itu adalah sebagian pertanyaan dari sekian banyak lainnya. Yang jelas dari apa yang saya mengerti tersebut, saya kemudian mengambil hikmah dari semuanya ini. Bahwa apa pun yang muncul dari benak saya yang sifatnya negatif, saya harus mencermatinya lebih dalam lagi. Saya harus tetap menggali kebenaran-kebenaran lain yang mungkin tertutupi oleh keadaan.

Dari kesimpulan tersebut saya kemudian mengambil sikap terhadap segala sesuatunya. Coba kita lihat contoh dibawah ini.

Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) adalah masalah yang sangat rentan membawa perpecahan. Dalam hal ini yang paling mutakhir adalah perbedaan Agama. Ketika saya menemukan sebuah objek kata, misalkan agama Hindu, Budha, atau agama-agama lainnya yang melaluinya dalam benak saya timbul suatu penilaian/kesan negatif, tentunya saya harus mencoba merunut kembali faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian saya tersebut. Ketika saya menangkap bahwa hal itu (misalkan) disebabkan oleh munculnya asosiasi yang menyatakan bahwa agama itu bertanggungjawab atas darah orang-orang tak berdosa di suatu tempat tertentu di muka bumi, maka saya tidak lagi boleh berpegang teguh pada pandangan tersebut. Karena apa? Karena sifatnya negatif.

Oleh karena itu terhadap diri kita sendiri kita harus bertanya. Apakah saya harus mengabaikan fakta bahwa mereka juga memiliki hal-hal yang baik? Dan jika saya telah menganalisa dan menemukan bahwa hal itu dipengaruhi oleh wacana yang dihadirkan oleh pihak lain, apakah kepentingan mereka, apa yang mempengaruhi mereka, dan layakkah saya sama negatifnya dengan mereka, apakah saya benar jika saya mengikuti sikap mereka itu, adilkah sikap saya terhadap mereka, dan jujurkah saya terhadap diri saya?

Jawaban atas segala pertanyaan tersebut akan sangat membantu kita mencermati persoalan dengan lebih baik. Ini semua sangat penting. Sebab semakin baik pengaruh yang masuk kedalam bidang pengertian kita, maka samakin jernih kita menyikapi setiap keadaan, sehingga oleh karenanya dapat terhindar dari bahaya yang dapat menghancurkan diri sendiri. Misalnya? Paranoid!

Mungkin ini adalah suatu peralihan dari pola berpikir naif menjadi pola berpikir modern. :p Pikir dahulu, sesal kemudian tiada guna.

0 komentar: