Selasa, 03 Maret 2009

Allah Memilih Kita Dipilih untuk Berbuah

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” (Yoh 15:16)

Persoalan memilih dan dipilih sangat dekat dengan kehidupan kita. Misalnya saja ketika melamar pekerjaan. Dari antara berbagai jenis pekerjaan, kita akan memilih satu jenis pekerjaan sesuai dengan 5KB (keahlian, kemampuan, ketertarikan, kesempatan, kepercayaan dan bakat) yang kita miliki. Dan tidak jarang, kita tetap memilih pekerjaan tertentu walau hanya memiliki salah satu di antara lima syarat itu.

Sayangnya situasi akan segera berganti. Jika pada awalnya kita memilih, pada saat seleksi penerimaan dilakukan, kita yang akan dipilih/tidak dipilih. Pihak penyelenggara juga menerapkan 5KB sebagai acuan untuk menyeleksi kita. Dan ironisnya, mereka jarang membutuhkan kandidat yang hanya punya salah satu di antara syarat di atas.

Jika terpilih, puji syukur. Itu berarti kita dapat segera bekerja menurut perintah yang telah ditetapkan. Itu berarti kita akan segera mendapat upah/gaji untuk memenuhi kebutuhan kita. Dan sebagai balasnya, kita akan bekerja dengan giat. Demi upah dan kenaikan upah.

Apa yang kita baca dalam Yohanes 15:16 ini hampir serupa dengan ilustrasi tersebut. Tema utama yang kita renungi adalah tentang pemilihan. Kita menyangka bahwa kitalah yang pada awalnya memilih Yesus Kristus sebagai Tuhan. Kita menduga bahwa kitalah yang menetapkan Dia sebagai juru selamat atas hidup kita.

Tetapi, itu hanya terjadi setelah Dia memilih kita. Kita dapat memilihNya hanya jika Ia berkenan dipilih. Perkenanan itu ditunjukkanNya dengan cara terlebih dahulu memilih kita.

Pada gilirannya, jika kitalah yang dipilih, tentu kita harus melakukan sesuatu sebagai balasnya. Tetapi istilah yang dipakai sudah berbeda. Istilah “bekerja” diganti dengan kata “melayani”, karena kita melakukan sesuatu bagiNya, bukan semata-mata untuk mendapatkan upah dariNya. Malah kita melakukan sesuatu hanya sebagai ucapan syukur padaNya.

Orang yang “bekerja” menyangka ia sedang bekerja di sebuah perusahaan multi-dunia yang bergerak di bidang rohani. Tetapi, orang yang “melayani” malah menyangka ia hanya seorang pengemis yang patut dibelaskasihani karena tidak bisa berbuat apa-apa. Orang yang “bekerja” akan segera kesal kalau upah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun, orang yang “melayani” akan segera kesal kalau ia tidak dapat mengucap syukur atas setiap “kepingan” udara dan rahmat yang ia peroleh di setiap hirupan nafasnya.

Tema pemilihan Allah dan buah yang harus kita hasilkan di atas, berakar pada satu tekanan penting di Yohanes 15:5. “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”, kata Yesus dalam ayat itu. Ini dikumandangkan melalui ilustrasi yang terdapat dalam keempat ayat pertama pasal yang sama. “Tuhan memilih kita dipilih” untuk tinggal di dalamNya dan Dia tinggal di dalam kita.

Jika hal itu nyata dalam hidup kita, tentu kita tidak dapat mengklaim mampu menghasilkan buah untuk Tuhan. Contohnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa ranting yang menghasilkan buah jeruk. Pada hakikatnya, ranting tidak dapat menghasilkan buah, jika ia tidak bersatu dengan batang pohonnya. Itu makanya kita mengatakan, “pohon jeruk menghasilkan buah jeruk”. Dan seharusnya, jangan ada mengatakan “ranting jeruk menghasilkan buah jeruk”.

Kita harus ingat hari ini, agar setiap buah-buah kebajikan, biarlah Tuhan yang menghasilkannya dari dalam diri kita. Kita tidak menghasilkan buah secara mandiri agar dapat kita berikan pada Tuhan. Justru Tuhanlah yang menghasilkan dan menjadi pemilik buah yang muncul dari dalam diri kita. Pilihan Tuhan terhadap kita berarti: “Tinggallah di dalam Aku, dan Aku di dalam kamu”.

Topik Doa: Penyerahan diri pada Tuhan, agar Ia yang selalu bertindak di dalam hidup kita, sehingga buah yang muncul dari dalam kita benar-benar membawa berkat bagi setiap orang, dan terlebih menjadi ucapan syukur yang “harum” bagi Tuhan.

Senin, 02 Maret 2009

Tuhan Memilih Kita Dipilih untuk Disertai

Lalu firman-Nya: “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.” (Keluaran 3:12)

Untuk melakukan sesuatu yang baru, mungkin kita akan sering mengalami keragu-raguan. Kita merasa tidak yakin akan hasil yang mungkin tidak bisa kita raih. Kita ambil contoh dari para penerjun payung. Jika dia adalah seorang pemula, tentu ia tidak akan begitu yakin bisa terjun bebas dengan aman. Melakukan kesalahan sedikit saja, dia justru akan “terbang ke langit”. Oleh karena itulah dibutuhkan instruktur yang berpengalaman untuk melatih kita. Latihan yang diberikan pun tentu tidak dilakukan di udara. Malahan harus dilakukan di darat. Bahkan meskipun sudah mendapatkan pelatihan sekalipun, tidak dengan serta merta seseorang mempunyai keberanian untuk segera terjun. Ia harus tetap didampingi…

Meskipun Allah tidak menyuruh Musa untuk terjun payung dari udara, tetapi terdapat kesamaan alur dengan ilustrasi yang telah gambarkan. Layaknya seorang instruktur, Allah memberi instruksi tentang misi yang harus dijalankan Musa di Gunung Horeb. Musa harus “terjun bebas” ke tengah-tengah bangsa Israel dan ke hadapan Firaun.

Ya, kelihatan jelas bahwa Musa tidak yakin tentang apa yang harus dilakukannya. Ia menolak pilihan dan penugasan Allah kepadanya. Ia bertanya, “Siapakah aku ini” (ay. 11). Musa bukan hanya takut atas ketidakmampuannya. Ia juga belum melupakan kenangan pahit penolakan bangsa Israel kepadanya di masa lampau (bnd. Kej 2:11-15).

Musa tidak sadar bahwa jalan hidupnya adalah pra-pelatihan untuk menjadi pemimpin atas Israel. Ia lahir, terancam mati, diselamatkan putri Firaun, mendapatkan pendidikan di lingkungan istana Kerajaan Mesir. Bukankah pendidikan itu sudah memadai untuk dirinya agar diangkat sebagai pemimpin?

Tuhan memang tidak mengungkapkan itu kepada Musa. Alih-alih menerangkan jalan hidup Musa, Allah malah mengatakan, “Bukankah Aku akan menyertai engkau?” Pernyataan singkat ini punya makna yang luas:

  1. Allah tidak ingin Musa menganggap dirinya sendiri begitu hebat. Siapakah yang tidak besar kepala jika Allah pencipta langit dan bumi menyanjung-nyangjung kemampuan kita?;
  2. Allah tidak memperhitungkan masa lalu Musa ketika memilihnya. Seindah apa pun, atau seburuk apa pun masa lalunya, Allah tetap berkenan kepadanya; dan
  3. Allah menginginkan agar Musa menyadari bahwa Dialah yang akan selalu ada bersama setiap langkahnya. Sama seperti instruktur tadi, Ia akan tetap menyertai Musa untuk “terjun bebas”.

Penyertaan Allah pun semakin ditekankan saat Dia mengucapkan “Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.” Allah memberikan sebuah tanda, sebuah lambang, yang akan menjadi reminder bagi Musa tentang penyertaanNya. Ketika Israel beribadah kepada Allah, itulah menjadi tanda baginya.

Kelihatannya tanda yang diberikan ini sangat unik (kalau tidak bisa dikatakan aneh). Kenapa justru saat Israel beribadah dijadikan sebagai tanda? Kenapa tanda yang tidak kelihatan yang diberikan? Kenapa kejadian yang belum terjadi yang dijadikan sebagai tanda? Bukankah biasanya tanda-tanda yang gampang kita ingat adalah tanda yang dapat kita lihat, dengar, dan rasakan? Misalnya saja, tongkat, salib, bendera.

Tanda ini sangat unik, karena di dalamNya kelihatan maksud Allah yang besar:

  1. Tanda itu bukan hanya untuk Musa seorang, tanda itu juga dikenakan untuk umatNya. Allah menginginkan Israel merasakan penyertaan Allah atas mereka. Dan itu akan terjadi saat mereka beribadah kepada Allah;
  2. Karena memang tujuan Israel dibebaskan adalah agar mereka dapat beribadah kepada Allah. Musa dan bangsa Israel akan memahami penyertaan Allah di dalam hidup mereka waktu mereka telah mengalami kebebasan itu; dan

Perenungan ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa, kita mungkin akan mengalami keraguan untuk mengamini pilihan Allah atas hidup kita. Banyak pertanyaan yang akan muncul dalam benak. Apakah saya layak? Apakah saya mampu? Apakah yang akan saya lakukan untukNya? Ya, jika kita melihat ke dalam diri kita, kita memang tidak layak, kita tidak mampu, dan tidak tahu apa yang dapat kita lakukan untukNya.

Tetapi pada intinya, Allah mengatakan, “Bukankah Aku akan menyertai engkau?”

Topik Doa: Biarlah Tuhan menyertai kita senantiasa dalam kegalauan kita dalam menjalani hari-hari.